Langsung ke konten utama

My Bad History About Self-Discipline

Mendisiplinkan diri bukan hal yang mudah. Mendisiplinkan diri berarti melawan diri sendiri, secara mandiri. Jika mendisiplinkan diri adalah hal yang mudah, tidak ada cerita seorang mahasiswa yang ingin menikmati masa-masa menjadi calon sarjana selama 5 tahun justru molor hingga 7 tahun. Tidak ada cerita mereka yang awalnya kuliah yang awalnya berharap jadi sarjana, justru menyerah ditengah jalan hanya karena skripsi. Tidak ada cerita kelulusan bervariasi antar mahasiswa 3,5 hingga 9 tahun.
Untuk urusan mendisiplinkan diri, saya memang mempunyai rekam jejak yang buruk. Semasa sekolah dan kuliah saya seringkali mengerjakan PR pagi hari sebelum berangkat/di hari yg sama dengan deadline PR dikumpulkan. Bahkan seringkali telat mengumpulkan. Hampir tidak pernah ikut jam ke-0 di SMA. Jangankan jam ke-0, jam kesatu bisa tidak telat saja sudah alhamdulillah. Sebulan tidak berangkat kuliah sama sekali juga pernah.

Sumber gambar: https://www.flickr.com/photos/royblumenthal/3268097275
Jika orang-orang punya sistem kebut semalam untuk mempersiapkan ulangan/ujian, saya punya sistem kebut pagi-pagi di hari yang sama dengan waktu ujian/ulangan, itupun kalau sempat. Kuliah pun lulusnya telat, kalau benar-benar hanya ngikutin mood 100%, bisa jadi saya sekarang tidak punya gelar sarjana ekonomi.
Skripsi godaannya memang berat. Tapi tetap saja ancaman drop out adalah sesuatu yang mengerikan, untuk saya. Bagaimana tidak membayangkan sudah berkorban kuliah bertahun-tahun, sudah KKN, yang mana itu bukan pengorbanan yang kecil, sayang jika gagal menyelesaikan satu tahapan lagi, tahapan terakhir, yang bernama skripsi. Mengingat uang yg sudah dikeluarkan alm. bapak untuk biaya kuliah saya. Tentu saya tidak ingin membuat ibu saya kecewa berat jika anaknya tidak lulus kuliah.
Setelah kembali berani kembali menginjakkan kaki di kampus, akhirnya banyak hal yang saya takutkan tidak terjadi. Bahkan dosen-dosen mendukung saya untuk menyelesaikan kuliah. Tidak ada caci maki yg sudah saya bayangkan sebelumnya. Meskipun kemudian jalannya memang tidak semulus jalan tol, kadang rasanya hampir putus asa.
Dukungan para dosen dan teman-teman membuat saya terus berjuang meski tetap saja sering angot-angotan untuk menyelesaikan skripsi dengan berbagai tetek bengek administrasinya untuk menyelesaikan kuliah. Rasa tidak enak kepada dosen pembimbing, ketua jurusan, dan sekretaris jurusan, yang mendukung sejak pertama kali saya berani kembali masuk ruang jurusan, teman yg sudah bersedia membantu saya, membuat saya tetap melangkah sampai akhirnya mendapatkan ijazah. Alhamdulillah.
Ya seperti itulah rekam jejak saya yang buruk dalam mendisiplinkan diri. Kalau selepas kuliah lebih ke bisnis yang kurang terurus dengan baik. Rencana yang tinggal rencana. To do list yang terabaikan. Kamar yang berantakan. Kurang merawat diri. Kemana-mana pakai baju kusut karena terlalu bad mood untuk menyetrika. Meskipun sekarang ya jauh lebih baik tapi memang masih harus jauh lebih ditingkatkan. Moody sih yang jadi musuh terbesar.

Komentar

  1. Ternyata postingan ini berisi curhatan, saya kira ada semacam saran di kalimat penutup. Hehe. Tak apa mba. Walau begitu, saya senang bisa sampai ke postingan ini, karena saya merasa ada teman. Doa terbaik untuk kita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih banyak mba, mohon maaf jika tidak sesuai ekspektasi, untuk solusi yang sudah pernah saya coba untuk memperbaiki masalah ini ada di postingan setelah ini yg berjudul: "Mencari Obat Penghilang Rasa Malas" :)

      Link:
      http://fenifine.blogspot.com/2018/10/mencari-obat-penghilang-rasa-malas.html

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saya Cocoknya Jadi Apa?

Setelah setahun lebih tidak pernah update di medsos, akhirnya 2 hari yang lalu @motivatweet kembali muncul di IG. Postingan keduanya di IG berhasil menarik jari-jari saya untuk ikut mengirimkan komentar :) Berikut postingannya: Berikut komentar saya: Paling Suka yang Mana? Saya jadi berfikir, apa sebaiknya saya fokus nulis di blog saja? Sebelumnya, akhir Juli lalu waktu saya meet up dengan sahabat saya, dia bilang, "Kamu tuh cocoknya jadi dosen." Membuat saya makin mantap untuk kembali berpikir, sebenernya saya cocoknya jadi apa sih? Kalau dosen sih kok kayaknya enggak 100% saya ya. Apakah ada profesi yang lebih cocok untuk saya dibanding menjadi seorang entrepreneur? Jika memang ada profesi lain yang lebih cocok untuk saya, tentu, start up saya tidak bisa saya tinggalkan begitu saja. Jujur, aslinya jualan online itu serunya minta ampun. Tapi seringkali saya malasnya juga minta ampun, hehe. Saya itu suka banget kalau disuruh bikin rencana, detail per bulan

Curhatan Pertama Saya di Semacam Buku Diary

Aktivitas beres-beres rumah seringkali tidak hanya membuat rumah kita menjadi lebih rapi dan lebih bersih. Apalagi jika kita sekalian bongkar-bongkar kardus yang berisi buku-buku atau kertas-kertas jadul. Terkadang kita menemukan foto atau apalah yang bisa membuat kita tertawa sendiri. Pada suatu ketika, sudah lama sih. Ingin nulis ini juga sudah lama, baru sekarang direalisasikan, hehe. Saya menemukan diary mbak dini, kakak saya yang nomor dua. Dia punya semacam buku diary kecil yang awalnya fungsi utamanya bukan buat diary maupun notes, tapi dipakai untuk mempersilakan teman-temannya mengisi biodata disana. Biasalah biodata yang ada mifa mafa sama pantun satu titik dua koma, wkwkkwk. Saya dulu ikut-ikutan nulis biodata disitu dengan tulisan acak adul saya, maklum masih SD waktu itu. Berikut tulisan biodata saya: Pada beberapa lembar setelahnya juga ada satu halaman yang berisi curhatan saya. Saya lupa tepatnya kapan saya curhat seperti itu, sepertinya ketika saya mas

Bahaya dari Keinginan Bahagia Selamanya

Gambar oleh  Mohamed Hassan  dari  Pixabay  Karena itu tidak akan terjadi selama kita di dunia kecuali jika mengidap penyakit manik. Salah satu contoh penderita penyakit manik ada di drama korea "It's Okay to be Not Okay. Gamau kan jadi kayak dia hehe. Rasulullah kekasih Allah SWT aja manusia paling beruntung di dunia karena menjadi manusia yang paling dicintai oleh Allah SWT sering merasakan kesedihan. Saat sedih Allah SWT tidak menyalahkan Rasul karena Rasul manusia dan sedih itu manusiawi. Dibanding menyalahkan Rasulullah yang sangat sedih saat ditinggal meninggal oleh dua orang yang paling disayanginya waktu itu, yaitu Paman Rasul yang sudah merawat dan melindungi Rasul sejak kecil dan istri beliau satu-satunya saat itu yang sangat mengerti, melindungi serta penentram hati Rasul awal-awal diangkat sebagai Rasul oleh Allah SWT. Allah tidak menyalahkan Rasul dengan berkata "Kurang apa cinta-Ku kepadamu? Allah justru menghibur Rasul dengan dinaikkan buraq. Kendaraan terc